Kisah S, Pejuang Korban KDRT

15 tahun lalu, seorang kerabat orang tua ku memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki yang tampak sholeh.
Di umurnya yang menginjak 22 tahun, ia resmi berstatus menjadi seorang istri.
Ups, belum selesai. Istri kedua lebih tepatnya.

Keputusannya menjadi istri kedua memanglah berat. Tentu tak semua pihak mendukungnya. Namun setelah menjalani berbagai proses, diambillah keputusan itu dengan segala konsekuensinya. Dengan penuh harap, agar bahtera rumah tangganya dapat melaju ke surga dengan sakinah mawaddah wa rahmah. Ia bersedia menjadi junior, dengan harap sang senior bisa membimbing serta mencontohkan yang terbaik baginya.


Pernikahan pun berlangsung dengan khidmat. Semua pihak bahagia.

15 tahun berlalu, beberapa hari lalu ia datang ke rumah. Maksud kedatangannya bukan curhat memang, namun kami dapat melihat air mukanya yang keruh. Tampak memancarkan rasa yang tidak nyaman. Mungkin jika ia membawa bayi, sang bayi akan menangis tanpa henti.

Setelah tujuan utama berkunjung sudah tersampaikan, barulah sedikit kami pancing untuk bercerita. Tidak semua ia utarakan memang, namun tampak jelas ada sampah emosi yang besar masih disimpannya. Marah, sedih, kecewa, mungkin semua rasa itu berlomba lomba menampakkan diri ketika ia bercerita.

Tergerak hati ingin membantu saat mendengar ceritanya bahwa ia menjadi korban KDRT, tak hanya dirinya, juga anak anaknya. Namun ku sadar, urusan rumah tangga biarlah menjadi urusan mereka masing masing. Tak perlu lah aku bicara jika tak diminta.


Lagipula, saat itu ia datang membawa putranya yang baru kelas 5. Ku merasa tak layak baginya untuk mendengarkan keluhan sang ibu tentang ayahnya. Bagaimanapun, ayah tetaplah ayah. Sehingga, yang kami lakukan hanyalah membuatnya tertawa. Setidaknya, saya tak pernah mendengar orang bunuh diri sambil tertawa gembira.

Namun sampai malam setelah kejadian itu fikiranku tampak tak mau berhenti. Tak habis fikir, kenapa orang yang "tampak alim" bisa sekasar itu. Namun teringat ucapannya Pak Indra Noveldy, bahwa iapun menemui hal yang sama ketika melayani konseling.

Saya cerita kepada kang Canun, beliau pun membalas dengan cerita yang juga mengerikan seperti ini:

Pengembaraan fikiranku terhenti sejenak, bertanya tanya tentang bagaimana cara mereka dulu bertemu. Dan juga, bagaimana proses yang mereka lalui sampai akhirnya menikah.
Otakku kembali memanggil memori saat menyimak kajian seorang ustadz tentang bagaimana proses yang baik sebelum menikah. Agar tak terjerumus pada aksi pacaran, dan juga tidak "beli kucing dalam karung". Karena sesungguhnya ketika ta'aruf dilakukan dengan benar, kita bukanlah "membeli kucing dalam karung".

Maka, untuk Anda para pencari jodoh, ataupun hendak menjodohkan kerabat Anda, ada baiknya juga menyimak video kajian tentang ta'aruf disini.

Adapun Anda, yang sudah terlanjur menikah dan mendapati kenyataan tak seindah bayangan, mungkin ada baiknya juga menyimak kajian "Andai ku tak menikah dengannya"

Dan di malam itu, akupun teringat bahwa ada satu buku yang mungkin sangat cocok untuk ia baca, sehingga dengan buku itupun aku siapkan untuk aku antar ke rumahnya esok hari.

Pernikahan memanglah misteri, layaknya jodoh dan mati. Kita tak tahu apa yang akan terjadi.

Fathur Azwir
06 Februari 2016







Comments

Popular posts from this blog

Alasan Kenapa Pakaian / Jemuran Bayi Harus Diangkat Sebelum Maghrib

Pengalaman Menangani Siswa Kesurupan (Part II)

Pengalaman Menangani Siswa Kesurupan (Part III - Habis)